Dina dan Gubuk Tuanya

 pict from here


Suara tetesan air sisa-sisa hujanbeberapa menit yang lalu masih terdengar di sebuah gubuk tua siang itu. Aromarerumputan yang terkena air hujan membuat udara sejuk pegunungan lebih terasabagi Dina. Dina sangat menyukai suasana sehabis hujan jika sedang berada dikebun seperti hari ini. Menapaki tanah yang sedikit becek dan terdapat beberapagenangan air membuatnya tidak tahan untuk tidak menari. Kakak Dina menyebutnyatarian hujan. Tidak, tarian ini sebenarnya tidak Dina tarikan disaat hujansedang turun, tetapi Dina selalu menarikannya setelah hujan reda. Dina jugaheran mengapa kakaknya menyebutnya seperti itu.

Saat hujan turun deras sepertitadi Dina beserta kakaknya lebih memilih berteduh di gubuk tua milikkeluarganya itu. Gubuk yang dulunya adalah rumah di saat ibu mereka kecil. Dinaselalu tidak habis pikir jika membayangkan hal itu. Ia tidak pernah bisamembayangkan bila ia harus bertahan hidup di gubuk kecil seperti itu. Tetapikata ibu Dina, gubuk itu merupakan rumah yang bagus kala itu dibandingkanrumah-rumah orang kebanyakan. Jika mengingat itu, Dina selalu merasa bersyukurdengan kondisi keluarganya sekarang. Mereka dapat tinggal di rumah yang bagus,walaupun sederhana tetapi mereka sudah dapat menikmati listrik. Dina jadi teringatpada cerita ayahnya ketika listrik di rumah mereka padam kala itu. Ayah Dinaselalu menegur mereka jika mengeluh karena listrik tak kunjung menyala. “Kalianharus bersyukur karena tiap hari selalu diterangi listrik. Tau kah kalian?Sewaktu ayah kecil kami belum mengenal listrik sayang. Kami harus rela hidungkami hitam karena asap dari lampu minyak saat mengerjakan pekerjaan rumah darisekolah. Jadi tidak ada salahnya sesekali kalian juga merasakan pengalaman ayahsaat kecil dulu kan?”Lagi-lagi Dina merasa bersyukur karena punya orang tua yang selalu mengajarkanmereka untuk tidak lupa bersyukur.

Gubuk yang hanya sesekali sajaDina datangi itu, walaupun terlihat tua selalu menghadirkan sensasi berbedajika memasukinya. Gubuk yang bercat kuning yang sudah pudar karena dimakan usiaitu memiliki satu ruangan utama, dua buah kamar dan sebuah dapur. Udara pengapterasa ketika kita memasukinya. Setengah bagian dapurnya dipenuhi ranting kayuuntuk persediaan kayu bakar. Dina paling suka aroma masakan yang dimasak denganmenggunakan kayu bakar. Pernah sekali kakek sedang panen kacang kapri, merekapun pesta tumis kapri. Walau masakannya terbilang sederhana, tetapi aroma kayubakar yang menyatu dengan rasa manis dari kapri yang baru dipetik  sangat menggugah selera makan mereka ketikaitu. Di gubuk itulah mereka selalu berkumpul ketika azan Dzuhur berkumandangdan menandakan waktu istirahat telah tiba atau ketika hujan turun denganlebatnya seperti tadi.

Beberapa bulan yang lalu bagianberanda depan gubuk pernah sedikit terbakar dan pintunya juga hamper jebol.Keluarga Dina sampai bingung siapa pelaku semua itu. Dina juga sedih saat itu.Tapi mereka bersyukur karena hanya bagian depan gubuk saja yang rusak. Dinatidak pernah membayangkan jika gubuk itu tidak ada. Dimana lagi mereka shalatjika sedang ke kebun? Dimana lagi mereka menyimpan makanan untuk disantap waktuistirahat tiba? Dimana lagi mereka bisa berkumpul makan siang dengan piringlebaran daun pisang dan ditemani secangkir kopi Gayo? Tapi gubuk itu masihberdiri tegak hingga sekarang. Dina pun masih disini, menarikan tarian hujan.

8 November 2011
Belimbing 2 


Blog Archive